top of page
Gambar penuliswewadahan

Fast Fashion di Indonesia: 3 dari 10 Konsumen Membuang Pakaiannya Setelah Sekali Pakai

Munculnya trend fast fashion telah mengubah cara kita berbelanja, karena lebih mudah diakses dan terjangkau membuat konsumen berbelanja lebih banyak. Pada tahun 2000 hingga 2014, jumlah pakaian yang dibeli meningkat rata-rata sebesar 60% setiap tahunnya. Perusahaan fashion ritel raksasa seperti H&M mendominasi pasar. Para kritikus menyoroti dampak yang dibuat oleh merk fashion cepat terhadap lingkungan. Pada artikel sebelumnya, Wewadahan sudah membahas mengenai dampak yang ditimbulkan dari mode cepat ini (baca di sini). Pemicunya adalah tingginya permintaan akan pakaian murah sekali pakai untuk diproduksi, namun sayangnya tidak jarang berakhir di tempat pembuangan sampah.


Riset terbaru yang dilakukan oleh YouGov Omnibus pada tahun 2017 dengan jumlah 7.439 responden di Indonesia menemukan banyaknya sampah pakaian di Indonesia. Dua pertiga orang dewasa Indonesia atau sebesar 66% membuang pakaian di beberapa titik dan seperempatnya (25%) telah membuang lebih dari sepuluh item pakaian dalam satu tahun terakhir. Tiga dari sepuluh orang Indonesia atau sebanyak 29%-nya telah membuang pakaian setelah memakainya hanya sekali saja. Sementara sebesar 41% milenial telah membeli setidaknya setengah dari pakaian yang mereka miliki dalam satu tahun terakhir.


Melihat banyaknya permintaan pasar di bidang fashion menjadikan fashion termasuk bisnis yang besar di Indonesia dengan satu dari sepuluh diperkirakan memiliki lebih dari 100 pakaian. 100 pakaian yang dimaksud belum termasuk pakaian dalam maupun aksesoris. Mereka yang berusia 16 hingga 34 tahun, biasa kita sebut kaum milenial, memiliki proporsi pakaian baru tertinggi dibandingkan dengan mereka yang berusia di atas 55 tahun, baby boomer.


1 dari 20 milenial membakar pakaian yang tidak diinginkan


Beda generasi, beda juga cara memperlakukan baju yang sudah tidak terpakai. Umumnya pakaian yang sudah tidak terpakai namun masih layak pakai akan diberikan ke teman, keluarga, atau orang yang menginginkan. Kaum milenial tiga kali lebih mungkin untuk menjual kembali pakaian yang tidak terpakai secara online, atau didaur ulang dibandingkan dengan baby boomer. Sedangkan satu dari dua puluh milenial sebelumnya membakar pakaian yang tidak terpakai.


Seperlima milenial membuang pakaiannya karena bosan


Sebanyak 61% orang Indonesia membuang bajunya dengan alasan sudah tidak muat untuk dipakai. 38% memilih alasan karena sudah rusak. Namun, 21% kaum milenial lebih cenderung membuang pakaian karena sudah merasa bosan memakainya dibandingkan dengan baby boomer.


Dalam tingkat regional, konsumen Vietnam dan Tiongkok masih menyimpan pakaian di bawah satu tahun sebelum akhirnya membuangnya. Sebaliknya, orang Australia, Hong Kong dan Singapura yang masih kecil kemungkinannya untuk menyimpan pakaian mereka di bawah satu tahun. Sebanyak 17% konsumen di Thailand membuang lebih dari tiga item pakaian yang hanya mereka pakai sekali dalam satu tahun terakhir dibandingkan dengan konsumen Tiongkok. Di sisi lain, sebanyak 25% orang Filipina, 21% orang Malaysia, dan 21% orang Indonesia tidak membuang pakaian dalam satu tahun terakhir.



Dari data yang sudah disajikan oleh YouGov Omnibus di atas, bisa kita ketahui bahwa orang Indonesia masih suka dalam menumpuk pakaian. Kekurangtahuan akan dampak lingkungan maupun sosial dari fast fashion dapat menjadi penyebabnya. Ditambah lagi dengan harga yang sangat murah menjadi penyebab banyaknya orang masih tergiur untuk membelinya, sehingga kesadaran mana yang menjadi kebutuhan kita dan mana yang kita inginkan masih menyaru. Semua ini dapat dikurangi dengan meningkatkan kesadaran kita akan bahaya dari fast fashion.

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page